Thursday 19 June 2014

Sekali Tentang Melancholic Bitch: Balada Joni Dan Susi



Pendahuluan: Sekitar tahun 2011/2012 saya pernah menulis tentang album ini di blog lama sebelum platformnya ditutup dan saya tidak sempat memback-up tulisan tersebut. Akhirnya  saya mencoba menulis lagi tentang album ini. Mungkin lebih baik, mungkin lebih buruk atau mungkin sama saja. Siapa yang tahu?

Dan mengutip sebuah wawancara antara Ugoran Prasad dengan Ardi Wilda:

“BJS itu kan dicuplik dari sebuah “keramaian.” Kalau dia bisamemproduksi sesuatu atau narasi yang baru dan menghadirkan “keramaian” lagi,itu jadi ideal. Aku ngerasa BJS belum terlalu mendorong orang untuk produksi,hanya konsumsi aja.”

Berhubung saya bukan seorang yang punya arah, bakat atau atribut apapun yang dibutuhkan untuk menjadi "seniman" dalam rangka memproduksi sesuatu yang baru, saya masih harus puas dengan menghadirkan intepretasi saya mengenai album ini. Mungkin baru, mungkin tidak, siapa peduli?

Sebagai seorang pria (!), ok, anak laki-laki yang sebentar lagi menapaki usia 30, pertanyaan paling menyebalkan adalah: “Kapan kamu akan berkeluarga?” sambil diiringi tatapan kasihan karena mungkin sang penanya merasa (ya, merasa, bukan berpikir) bahwa tidak ada perempuan yang rela menghabiskan sisa hidupnya bersama saya (sampai sekarang memang tidak ada). Pertanyaan saya didalam hati kepada mereka tentu saja bahwa apakah mereka berpikir bahwa berkeluarga pada saat kondisi dimana Pemerintah belum berhasil menjamin penghidupan yang layak bagi rakyatnya adalah sesuatu yang dapat diterima?

“Rezeki kan sudah ada yang ngatur. Nanti rejeki istri dan rejeki anak bakal dateng kok”.

Saya yang baru saja menemukan Sartre tentu saja berpikir bahwa jawaban tersebut adalah amat lucu karena saya (terpaksa) setuju bahwa manusia dilahirkan tanpa tujuan. Setelah manusia lahir, maka mereka akan berpikir dan menggunakan kehendak bebasnya sesuai dengan kondisi yang sedang mereka hadapi. Urusan kehendak bebas tersebut akan mudah (dan mungkin indah) ceritanya ketika seorang anak lahir dari keluarga kelas menengah ke atas namun menjadi sulit ketika anak tersebut lahir sebagai kelas bawah. Sebagai contoh: Anak-anak yang lahir dari keluarga uber miskin dan terpaksa berakhir di jalanan, entah kemudian di penjara atau di akhirat dalam kondisi yang secara sosial dianggap buruk. Melihat kondisi semacam itu, membuat saya sungguh tidak percaya bahwa ada rezeki yang sudah disiapkan untuk anak tersebut. Yang saya tangkap dari kondisi semacam itu adalah contoh individu yang ikut-ikutan pemerintah yaitu gagal (baca: belum berhasil) dalam memberikan hidup layak bagi keluarganya. Jangan pernah coba menceramahi saya karena saya sudah pernah (dan masih) melihat  (dan juga merasakan akibat dari) kegagalan orang-orang yang sejak berkeluarga  sampai sekarang tidak kunjung berhasil dalam menjamin kehidupan yang layak bagi anggota keluarganya (walaupun satu dari sejuta anak yang berasal dari orang tua gagal tersebut mungkin saja berhasil “jadi orang”). Belum lagi anggapan usang para penganut paham patriarkal akut yang belum bisa menerima kesetaraan gender, tetapi itu cerita lain. 

Jika dosa memang ada, maka, membawa kehidupan entah darimana dengan tujuan hanya untuk menghindari tekanan orang lain (dianggap tidak laku, dianggap tidak lurus, dianggap tidak benar, dianggap tidak-tidak lainnya) dan membuat kehidupan tersebut menderita (dan bahkan berbuat dosa) adalah dosa yang sangat berat. Anda saya persilakan untuk tidak setuju.

Berbicara mengenai kepala keluarga (bisa laki-laki, bisa perempuan) kelas menengah ke atas, yaitu mereka yang memang sudah berhasil lepas seluruhnya dari sokongan dana orang tua atau memang berhasil menanjak tangga kelas sosial secara mandiri, tanggung jawab yang besar sebagai kepala keluarga kadang juga membuat mereka mulai merasa perlu untuk bertingkah menyebalkan. Standar ganda, check, ketakutan kehilangan pekerjaan karena membela rekan kerja yang benar, check, berusaha keras untuk tidak menyusahkan pemilik modal dengan menyusahkan orang lain yang tentu saja memiliki aktiva jauh dibawah pemilik modal, check, orientasi yang semakin terarah terhadap uang dan konsumerisme, check, menjadi gendut dan malas, check, menyuruh orang yang berada dibawah kekuasaannya untuk melakukan hal-hal bodoh dan tidak berguna, CHECK! (silakan tambah hasil observasi anda: mencari hiburan tidak sehat lewat prostitusi? Bisa saja!) Mungkin satu-satunya orang yang berkeluarga dan saya tahu masih mampu memegang teguh integritasnya hanya Wiji Thukul. Silakan sanggah kalimat saya.

Hasil observasi asal-asalan saya diatas seakan-akan mendapat afirmasi dari album Melancholic Bitch (“Melbi”) berjudul Balada Joni dan Susi (“BJS”). Secara garis besar, album ini bercerita tentang “Joni dan Susi termakan utopia kehidupan kota besar yang diumbar di televisi, lalu memadu kasih dan pergi ke kota padahal Pemerintah belum mampu menyediakan kehidupan yang layak bagi rakyat banyak termasuk Joni dan Susi sampai akhirnya Joni terpaksa mengutil dan menjadi pesakitan dan ujung-ujungnya menjadi obyek jualan berita televisi”. Paparan tersebut menurut saya adalah ilustrasi yang paling masuk akal dan jika ada yang mampu menyusun kalimat yang lebih baik, silakan isi di kolom komentar.

Pada sebuah majalah anak muda sekitar tahun 2005, Denny Sakrie pernah berpendapat bahwa (roughly quoted) “Band-band indie jaman sekarang hanya berasa cool karena punya referensi bagus” dan Melbi dengan sukses berhasil menghindar dari busuknya terminologi cool tersebut. Mendengarkan album ini, sulit menampik bahwa ada saja bagian-bagian yang tidak akan kehilangan tempat dalam album studio band-band rock prominen dalam budaya pop barat namun yang membuat BJS terdengar tulus adalah cerita dan konsep kuat dan tentu saja relevan dengan kondisi sosial baik pada saat album ini dirilis maupun sampai sekarang.

Sebagaimana sebuah album konsep yang ditulis dengan semestinya, maka BJS dibuka dengan intro suram yang mencerminkan dibukanya kotak Pandora kesengsaraan dan  mendeskripsikan pertemuan antara Joni dan Susi di ruang kelas dimana Ugo sebagai narator menjelaskan mengenai mimpi utopis perkotaan yang membuat siapapun yang melihatnya merasa ingin dan mungkin harus mencicipi dan menghidupi kekotaan tersebut termasuk Joni dan Susi (“Kota-kota menjalar liar”). Dari mana mereka mendapat visi kehidupan perkotaan tersebut? Tentu dari  dari “kotak gelas” yang mana didalamnya “rumah-rumah terkurung”. Tentu saja ini maksudnya televisi.   

Berbekal mimpi, Joni dan Susi langsung ber “Bulan Madu”. Sebuah mimpi bulan madu tepatnya yang merupakan cara berkelas untuk meludahi para anggota kelas menengah-atas yang tanpa ragu menghambur-hamburkan uang untuk berbulan madu di tempat-tempat eksotis yang tersebar di pojok-pojok luar negeri. Di tengah-tengah “Kapal yang sedang bergoyang” dan Joni yang meminta Susi untuk “Jangan bergerak terlalu kencang-jangan hilang keseimbangan” Joni dan Susi melakukan perjalanan psikadelik penuh cinta dan nafsu keliling dunia sambil diiringi musik gelap yang mungkin saja terinsipirasi “No Quarter”. 
Kemudian tiba saatnya mereka mengucapkan janji setia. Bukan janji setia biasa karena ditengah musik yang merupakan versi gelap dan luasnya eksplorasi dari “Weird Fishes/Arpeggi”, selain janji standar semacam “dalam suka atau duka, kaya atau papa, sampai kematian memisahkan”, Joni juga meminta Susi untuk ”lukai aku, belah dadaku, makan jantungku,renggut hatiku” dan ditutup dengan rayuan (atau mungkin janji) pamungkas: “Jika aku Israel, Kau Palestina, Jika aku Amerika, Kau seluruh dunia, jika aku miskin, kau Negara”. Pasangan kontras yang tidak dapat hidup jika yang lain tiada.

Merasa cukup setelah berjanji dan berbulan madu, maka mereka mulai menuju kota (baca: Distopia). Lirik dari lagu ini semata-mata mendeskripsikan perjalanan bersama. Namun yang membuat lagu ini menjadi tidak biasa adalah intro “Ob-la-di-Ob-la-da” dipadukan dengan nyanyian Ugo dan Silir (Joni dan Susi) dengan melodi lagu pop khas Indonesia sampai akhirnya Joni dan Susi mulai memasuki teritori kota (Distopia) pada menit kedua lagu ini yang ditandai dengan irama disko tung-tung khas pantura sembari diimbuhi dengan permainan keyboard sarat psikadelia yang mungkin saja pernah juga di-sampel oleh Justice di album "†".

Tiba di kota, Joni dan Susi memaknai kedatangan mereka lagi-lagi dengan bantuan televisi. Mars Penyembah Berhala adalah sarkasme. Melbi menggambarkan sulitnya orang-orang untuk lepas dari cengkeraman mimpi yang ditawarkan televisi (“oh seseorang cubit aku di pipi/ jika semua ini..hanya dan hanya mimpi”) sebelum lagu ini memuncak dimana lick mengawang a la Interpol ditimpa dengan pidato cuci otak yang meresahkan dan berupaya untuk menahan mata pemirsa pada televisi sebagaimana diteriakkan oleh perwakilan entah dari Departemen Penerangan buatan seorang diktator atau mungkin saja versi Indonesia dari Big Brother.
Meresahkan karena saya yang mendengarkan lagu ini merasa tidak mampu untuk mencabut mata orang-orang lain yang terperangkap mimpi televisi. 

Kebahagiaan kisah Joni dan Susi kini hampir usai. “Nasihat yang Baik” memberdayakan pengaruh post-rock dan/atau shoegaze sebagai bungkus atmosferik nan esensial. Dari bujukan Joni (“Tidurlah Susi”) kita bisa saja membayangkan sepasang kekasih yang sedang berteduh di kolong jembatan atau halte bus dimana sang suami yang sedang kebingungan besok akan makan apa, tengah menenangkan istrinya.

Dan memang sudah semestinya bahwa kebingungan mengenai apa yang akan dimakan disambung dengan “Propaganda Dinding” dan “Apel Adam”. 

“Susi demam dan terbaring gemetar, Joni gusar dan tangannya terkepal, miskin takkan membuatnya putus asa, lapar memaksanya merasa berdaya….dinding berbisik: curilah roti”

Kenapa dinding? Kenapa bukan “setan”? Siapa yang membutuhkan imajinasi tentang setan, jika kita sudah punya televisi (dinding)?

Siapapun segera tahu arah dari “Propaganda Dinding” tetapi teror bisikan dinding itu belum seberapa dibandingkan dengan teror sesungguhnya:

“Supermarket tak pernah sepi, lihat deret yang selalu tersusun rapi, waktu terkutuk kadaluarsa di bungkus roti, Supermarket dan busung lapar adu lari” (Simak juga detak jam di intro). Sepanjang sejarah mendengarkan album musik berbahasa Indonesia, sejujurnya saya belum pernah menemukan majas ironi sehebat ini.
Apakah dinding berkonspirasi dengan minimarket untuk menjual mimpi dan membuat orang datang dan mencari keselamatan di supermarket? Silakan renungkan.

Sulit memisahkan propaganda dinding dengan sekuelnya , Apel Adam,  yang merupakan sebuah narasi yang dibungkus keyboard kelam dan bingung serta secara berkelas memberikan sindiran halus terhadap kapitalisme yang sudah tidak terkendali, mereka yang bermain tuhan dan tentu saja sekali lagi: televisi.

“Kau tak bisa mencuri sepotong roti dan sebuah apel karena pencurian merusak kesetimbangan harga, Supermarket memerangkapnya, sebuah apel jatuh dari lubang di celananya. Pada orang-orang yang menghantamkan hukuman tuhan di wajahnya: Joni berkata: Jangan libatkan polisi di lagu/cinta ini….

Sementara, televisi datang lebih cepat dari ambulan.”

Dan hampir lima tahun setelah album ini keluar, Supermarket (dan mini-supermarket) semakin banyak dan siap memerangkap Joni-Joni baru. Entah sudah berapa orang pekerja televisi yang mendapat makan dari Joni. Entah sudah berapa miliar pendapatan iklan yang diperoleh stasiun-stasiun televisi berkat penjualan berita tentang Joni.

Granat sarkasme Melbi masih belum habis karena Akhirnya Joni Masup TV. Melbi dengan cerdik meminjam dan memutakhirkan pola drum Martin Hannett di Isolation sambil mengkritik Pemerintah yang gagal “membaca jejak luka (Joni) yang tertulis di jalan” sembari memohon kepada Susi: “Susi ajarkanlah kepada mereka, bagaimana caranya mengeja”. Pesannya sudah jelas: Anda tidak bisa mengandalkan pemerintah ketika  anda adalah anggota masyarakat kelas bawah sebuah negara yang carut-marut.

BJS (seharusnya) ditutup dengan Menara. Menara adalah sebuah narasi yang kembali mengingatkan Joni dan Susi akan satu sama lain sebagaimana pada intro album ini. Di tengah-tengah derau gitar berbau Joy Division, Joni dan Susi mengenang betapa pahit dan terkutuknya distopia yang sempat mereka singgahi (“berdarah, luka ditanganku berdarah, luka di tanganmu, saling menggenggam kita mengikat darah kita selamanya), serta merancang janji atau rencana masa depan yang terdengar seperti ancaman balas dendam (“Kita akan bepinak banyak banyak menjadi sekawanan Joni, sekawanan Susi, mari pergi, membuka lahan kebun apel seperti tuhan”). Sindiran lagi kepada kasus apel di “Apel Adam”. Dan anda harus paham kenapa ada kata-kata “tuhan” sebagai “pembuka kebun apel”.

Suka atau tidak suka, tuhan kita adalah para pemilik modal.

Satu-satunya hal yang membuat saya tidak nyaman adalah “Noktah”. Diluar kalimat “pelarian telah berakhir” yang secara lirik mungkin bercerita tentang kematian. Saya belum berhasil menemukan alasan tepat mengenai keberadaan lagu ini di BJS. Apakah Melbi sedang berupaya membuat saya bingung? Atau lagu ini dibuat untuk keperluan promosi, mengingat liriknya yang nyaris tidak ada hubungannnya dengan Joni dan Susi. Saya tidak mengkritik musiknya karena sebenarnya lagu ini cukup berhasil memadukan gamelan dengan sound-sound alternative rock, melainkan saya hanya mempertanyakan urgensi terkait keberadaan lagu ini pada album BJS. (Diluar tempelan outro “Namaku Joni…Namaku Susi” yang sebenarnya sudah cukup dinarasikan di “Menara”).

All in all, Apalagi yang bisa saya harapkan dari album sehebat ini selain afirmasi yang saya kemukakan pada alinea diatas? Mungkin ketika pertanyaan “Kapan kamu berkeluarga” muncul entah dari siapapun, daripada saya jawab “may….may be yes may be not”, saya akan segera lempar album ini tepat ke wajah mereka sambil berkata “Dengerin ini dulu deh Jon, baru nyuruh-nyuruh gue kawin”.