Sunday 14 June 2015

Tumbuh Bersama Silampukau-Dosa, Kota & Kenangan



Dosa, Kota & Kenangan bagi saya adalah sebuah mastercraft yang setali tiga uang dengan perempuan cantik yang jika diajak ngobrol lumayan nyambung, punya empati serta gaya hidupnya agreeable sampai-sampai saya  mengalami kesulitan untuk membendung kebahagiaan setiap kali bertemu serta merasa perlu untuk menulis sesuatu tentangnya. Bibit unggul deh pokoknya. 

Anda tidak setuju? Saya tidak peduli.


Mendengarkan Album “Dosa, Kota & Kenangan” milik Silampukau, mau tidak mau saya tergoda untuk mengenang EP pertama Silampukau, “Sementara Ini”. “Sementara Ini”, sesuai judul albumnya, terdengar prematur. Mungkin karena optimisme khas millennial usia tanggung yang belum banyak tuntutan dan semangat bermain-main yang kental. Optimisme yang jelas tersimak pada “Hei” yang melukiskan debat antara anak muda dengan orang tua dimana bait untuk anak muda dinyanyikan oleh Kharis Junandharu dan bait orang tua dinyanyikan Eki Tresnowening untuk kemudian mengalir ke reffrain yang berbunyi: “Tenang saja, kamu kan hebat/ Akan terlihat jalan yang terang/ di mimpi yang tak kau beli”. Sedangkan optimisme dalam bentuknya yang lebih relevan dilantunkan dalam “Pagi” (“Tangan lebar merentang/ siap wujudkan mimpi/ Tegas kaki melangkah/ menyapa matahari/ Siapkanlah pagi dengan senyuman/ Lekaslah berlari sebelum siang”) dan membuatnya terdengar seperti “Menjadi Indonesia” yang memasuki level lain dalam dunia pop. Tidak ada yang salah dengan dua lagu tersebut namun ide-ide motivasional dengan bau-bau rags-to-riches dengan sekelumit bumbu rasa kasihan terhadap diri sendiri yang mendasari kedua lagu tersebut terasa “disagreeable” bagi saya (terkait alasan self-preservation, terutama), walaupun ide-ide tersebut tidaklah buruk.


Tentu saja masih ada hal ‘agreeable’ dalam “Sementara Ini”. Bersyukurlah untuk semangat bermain-main yang tercermin pada nomor “Cinta Itu”, sebuah versi ‘membumi’ (tsk!), tulus dan jenaka dari “Jatuh Cinta Itu Biasa Saja”, dimana pada saat Kharis dengan genit melayangkan syair: “Cinta itu buat kapan-kapan”, Eki menimpalinya dengan pertanyaan “kapan?” untuk kemudian mengeksekusinya dengan jawaban  pamungkas: “kala hidup tak banyak tuntutan”.

Kabar baik lainnya datang dalam lagu terakhir serta lagu ekstra yang didasarkan pada ide yang gaungnya lebih subtil. “Sampai Jumpa” sebagai lagu perpisahan berhasil membangkitkan memori akan pamitan a la Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks (“Semoga tak ada salah-salah kata/ semoga kami berkenan di hati anda”) sedangkan “Berbenah” menghadirkan suasana multi tafsir. Ada rasa pahit-manis perpisahan dengan teman minum-minum satu tongkrongan (“kawan jangan terpencar”) tetapi selimut tema kematian atau pendeknya hidup tidak kalah lekat melingkupi sekujur lagu ("Ujung perjalanan/ terkumpul banyak cerita/ Sudah saat berbenah/ Sampaikanlah doa/ Kuatkan kaki kencang bertahan/ Titipkan semangat pada yang telah lelah/ Pemberhentian susah diramalkan/ jangan sampai terlewat”) sembari ditimpa alunan akordeon yang menyayat itu, sebuah ajakan pasif untuk menikmati momen dan memilih pertempuran dengan lebih bijaksana.
 
Fast forward 5 tahun kemudian, Silampukau berevolusi dari young adult menjadi pria-pria yang berhasil melewati par pencapaian kesenian mereka dalam taraf yang sangat signifikan. Dirilis tanpa gimmick pemasaran berlebihan, “Dosa, Kota & Kenangan” menandai teritori baru yang berhasil dijamah Silampukau dalam berkesenian. "Dosa, Kota & Kenangan" dipenuhi kelindan berbagai instrumen tambahan yang tidak mendapat tempat dalam ‘folk’ sederhana yang tercatat dalam “Sementara Ini” lengkap dengan tipu-tipu aransemen yang tricky dan delicate. Sementara itu, departemen lirik menjadi lebih realistis karena kenyataan hidup telah memberi begitu banyak tantangan dan pelajaran dalam proses manifestasi “Tenang saja, kamu kan hebat/ Akan terlihat jalan yang terang” maupun “Tangan lebar merentang/ siap wujudkan mimpi” dalam rangkaian kosakata cerdas.
 
Because we can’t survive on lemper and teh hangat, can we?
 
Satu jawaban dari premis diatas muncul dalam nomor pembuka “Balada Harian” yang mungkin saja merupakan sebuah toyor di kepala kepada para pemuda optimis di “Sementara Ini”. Dalam lagu yang musiknya sedikit membangkitkan ingatan atas “Misread” ini, kita dapat menyimak lantunan “Tik-tok jam. Dering alarm/ Impian pudar perlahan. Diam-diam/ Tapi tahun kian kelabu/ Makna gugur satu-satu dari pengetahuanku, pandanganku, pendengaranku, penilaianku/ Mentari tinggal terik bara tanpa janji/ Kota tumbuh,kian asing, kian tak peduli”. Dihajar kenyataan memang tidak pernah menyenangkan akan tetapi diluar relevansinya, desis-desis “self-pity” pada “Balada Harian” membuatnya sedikit menyebalkan. Desis-desis yang juga dipertahankan pada lagu penutup “Aku Duduk Menanti” yang terdengar letih.
 
Terus terang, hanya dua lagu diatas yang merupakan hal yang tidak ideal dari “Dosa, Kota & Kenangan”. Mungkin saja karena adanya aturan tidak tertulis dari skena folke dimana harus ada satu-dua lagu yang merayakan rasa letih, kehampaan dan rasa kasihan bagi diri sendiri tanpa ironi apapun. 


Tetapi apapun itu, Silampukau terdengar jauh lebih menarik ketika mereka membidik premis-premis sakit hati diatas dengan jenaka lengkap dengan bumbu ironi.


 “Lagu Rantau (Sambat Omah)” masih berangkat dari premis yang sama. Pemuda-pemuda yang menyanyikan “Hei” akhirnya memutuskan untuk ‘menjadi hebat’ dimana “Tujuh tahun yang lalu, impian membawaku ke Surabaya/ berharap jadi kaya” namun “Waktu memang jahanam/ kota kelewat kejam/ dan pekerjaan menyita harapan/ Hari-hari berulang, diriku kian hilang/ Himpitan hutang. Tagihan awal bulan”. Yang membuatnya berbeda tentu saja percik-percik keputusasaan dalam kalimat pamungkas “O, demi tuhan, atau demi setan/ sumpah aku ingin rumah untuk pulang”. 

Lagu lainnya, “Doa 1”, yang sudah menjadi lagu wajib khalayak, menaikkan momentum kenyataan hidup diatas, baik bagi album ini atau lagu “Cinta Melulu” yang sudah basi itu sambil menepis jauh-jauh tengik kecemburuan kolektif yang terlalu norak dan literal a la “Lagu Gampang”. Dimulai dengan intro piano sedih yang ternyata adalah tipuan untuk kemudian musiknya didorong sedemikian sehingga menjadi sebuah orkes jalanan yang sangat menghibur lengkap dengan perpindahan melodi yang menampilkan remah-remah hasil main mata dengan lagu-lagu indie rock mancanegara. Pada lagu ini,  Silampukau menyapa “Gusti” dengan keluhan-keluhan jenaka khas musisi bercita-cita tinggi semacam “dulu kala semasa ‘ku remaja/ “nothing else matters,” katanya Metallica/ Sabar, mama, tunggu aku masuk ke layar tivi/ aku kesasar di jalur indie/ Terima sablon kaos dan kadang gantungan kunci/ , pernah ‘ku mencoba peruntungan/ dana pas-pasan pokoknya bikin rekaman/ Kuliah, Gusti, kutelantarkan”. Lirik jenaka semacam itu dengan musik yang saling-silang antara etos ‘jalanan’ dengan musik pop membuat sedikit cela yang timbul akibat kecemburuan terhadap televisi dan Ahmad….. menjadi termaafkan. Tidak semua hal harus berjalan sempurna, bukan?

Jika bumbu ironi belum cukup, maka Silampukau menambah bobot eksplorasi yang lebih serius dan spiritual. Tuhan memang tidak perlu dibela tetapi potongan syair dalam “Malam Jatuh di Surabaya” yang berbunyi “Maghrib mengambang lirih dan terabaikan/ Tuhan kalah di riuh jalan/ (oleh) Orkes jahanam mesin dan umpatan (Celaka akhir hari)” membangkitkan suatu sentimen yang aneh sekaligus relevan lengkap dengan gesekan musical saw yang muncul malu-malu, mengharu biru dan timbul tenggelam nyaris tanpa peringatan.


Dan semangat berkesenian Silampukau menjadi sahih-tepat guna ketika mereka memotret situasi sekitar dengan cara yang prosais. Mulai dari kurangnya hiburan murah di “Bianglala” (lengkap dengan keisengan lirik “Muda-mudi bersembunyi di remang-remang/ Awas ya, itu tangan”) sampai kurangnya ruang bermain sepakbola di “Bola Raya”. Dan kesahihan tersebut menemukan tempat yang seharusnya pada “Sang Jurangan” dan “Si Pelanggan”. 


“Sang Juragan”, sebuah narasi dua menit lebih dengan aransemen yang terasa begitu padat lengkap dengan siul-siul, ketuk pintu dan gesekan korek serta gitalele, adalah sebentuk penghormatan bagi para pemilik-pengelola institusi yang telah begitu berjasa dalam membantu jiwa-jiwa yang lelah diteror kenyataan dalam menjaga kewarasan: toko minuman keras, sambil dengan effortless menyediakan ruang-ruang bagi aparat yang susah melihat orang senang dan mereka yang “terpinggirkan” yakni orang susah yang juga berhak untuk senang dalam lagu ini. 


Sementara itu “Si Pelanggan”, selain memotret situasi sekitar (Dolly, tepatnya), menunjukkan Silampukau yang sedang bermain-main dengan identitas musikalnya. Lagu ini ditulis oleh Kharis, namun dinyanyikan oleh Eki hanya sambil diiringi piano yang dimainkan Samuel Respati, fakta remeh yang  tidak kalah penting dengan kepedulian yang sudah sepantasnya disematkan kepada Dolly karena “di temaram jambon gang sempit itu/ aku mursal masuk, keluar, dan utuh sebagai lelaki/ suaka bagi hati yang terluka oleh cinta/ oleh seluruh nelangsa…hidup yang celaka” lengkap dengan narasi bergaya observasi nan jenial serta rangkaian rima yang belum pernah terpikir oleh siapapun (“Di dasar kerat-kerat bir/ yang kutenggak dalam kafir/ di ujung ceracau malam yang lingsir/ di dengung hambar aspal yang terus bergulir/ di lubang-lubang nyinyir ranjang matrimoni/ di buah-buah kisut ladang matrimoni/ di celah-celah renggang sumpah matrimoni”). Kesimpulan narasi lagu ini pada baris “pelacur dan mucikari ‘kan hidup abadi” mungkin bisa dianggap sebagai kunci yang membuat “Si Pelanggan” menjadi calon kuat salah satu lagu abadi yang pernah dihasilkan siapapun dari skena musik Indonesia.
 
Seolah tidak lupa akan pentingnya sekelumit intrik percintaan, Silampukau menyisipkan “Puan Kelana”. Jika kalian pernah mendengarkan “Moth” dari Sonic Youth yang dimulai dengan warm sound yang dihasilkan  ketika needle turntable menggerus plat piringan hitam, kita akan mendapatkan hal yang sama di awal “Puan Kelana” untuk kemudian ditimpali suara terompet (lebih tepat jika menggunakan french horn, sebenarnya) untuk mengais suasana kota mode dalam rangka tujuan tematik dan bukan tempelan (Eyes on YOU, Aurette!). Sedangkan untuk syair, “Puan Kelana” mengambil pendekatan yang lebih riil dibandingkan “Cinta Itu” sehingga membuatnya rentan terpeleset menjadi “another love song”. Akan tetapi lagu ini tidak turun kelas karena berhasil menonjolkan permainan rima rumit, serumit hubungan tarik menarik antara Juanda dan Charles de Gaulle, serta name-dropping a la mode dalam kadar yang pas (“Rene Descartes, Moliere, dan Maupassant/ Kau penuhi kepalaku yang kosong/ dan Perancis membuat kita sombong”) untuk mendukung kerumitan tersebut. Mohon maaf karena saya harus menarik diri untuk menelanjangi lagu ini lebih jauh untuk alasan kesehatan.


Pada dasarnya, “Dosa, Kota & Kenangan” berserta tahun-tahun dan realita yang mengikutinya adalah upaya untuk merangkum semua peristiwa dalam kaitannya dengan hidup, tumbuh dan berkembang. Dan atas hasil dari segala upaya pemaknaan yang dirangkum dalam “Dosa, Kota & Kenangan”, agak kurang ajar rasanya jika saya tidak mengangkat gelas teh hangat (atau arak beras) di tangan untuk Silampukau. 

PS: Please don’t get me started on “bau-bau ICEMA” in this article.