Dosa, Kota & Kenangan bagi saya adalah sebuah mastercraft yang setali tiga uang dengan perempuan cantik yang jika diajak ngobrol lumayan nyambung, punya empati serta gaya hidupnya agreeable sampai-sampai saya mengalami kesulitan untuk membendung kebahagiaan setiap kali bertemu serta merasa perlu untuk menulis sesuatu tentangnya. Bibit unggul deh pokoknya.
Anda tidak setuju? Saya tidak peduli.
Mendengarkan Album “Dosa, Kota & Kenangan” milik
Silampukau, mau tidak mau saya tergoda untuk mengenang EP pertama Silampukau, “Sementara
Ini”. “Sementara Ini”, sesuai judul albumnya, terdengar prematur. Mungkin
karena optimisme khas millennial usia tanggung yang belum banyak tuntutan dan semangat
bermain-main yang kental. Optimisme yang jelas tersimak pada “Hei” yang melukiskan
debat antara anak muda dengan orang tua dimana bait untuk anak muda dinyanyikan
oleh Kharis Junandharu dan bait orang tua dinyanyikan Eki Tresnowening untuk
kemudian mengalir ke reffrain yang berbunyi: “Tenang saja, kamu kan hebat/ Akan
terlihat jalan yang terang/ di mimpi yang tak kau beli”. Sedangkan optimisme
dalam bentuknya yang lebih relevan dilantunkan dalam “Pagi” (“Tangan lebar
merentang/ siap wujudkan mimpi/ Tegas kaki melangkah/ menyapa matahari/
Siapkanlah pagi dengan senyuman/ Lekaslah berlari sebelum siang”) dan
membuatnya terdengar seperti “Menjadi Indonesia” yang memasuki level lain dalam
dunia pop. Tidak ada yang salah dengan dua lagu tersebut namun ide-ide
motivasional dengan bau-bau rags-to-riches
dengan sekelumit bumbu rasa kasihan terhadap diri sendiri yang mendasari kedua
lagu tersebut terasa “disagreeable”
bagi saya (terkait alasan self-preservation, terutama), walaupun
ide-ide tersebut tidaklah buruk.
Tentu
saja masih ada hal ‘agreeable’ dalam
“Sementara Ini”. Bersyukurlah untuk semangat bermain-main yang tercermin pada
nomor “Cinta Itu”, sebuah versi ‘membumi’ (tsk!), tulus dan jenaka dari “Jatuh
Cinta Itu Biasa Saja”, dimana pada saat Kharis dengan genit melayangkan syair:
“Cinta itu buat kapan-kapan”, Eki menimpalinya dengan pertanyaan “kapan?” untuk
kemudian mengeksekusinya dengan jawaban
pamungkas: “kala hidup tak banyak tuntutan”.
Kabar baik lainnya datang dalam lagu terakhir serta lagu ekstra
yang didasarkan pada ide yang gaungnya lebih subtil. “Sampai Jumpa” sebagai
lagu perpisahan berhasil membangkitkan memori akan pamitan a la Orkes Moral
Pancaran Sinar Petromaks (“Semoga tak ada salah-salah kata/ semoga kami
berkenan di hati anda”) sedangkan “Berbenah” menghadirkan suasana multi tafsir.
Ada rasa pahit-manis perpisahan dengan teman minum-minum satu tongkrongan
(“kawan jangan terpencar”) tetapi selimut tema kematian atau pendeknya hidup
tidak kalah lekat melingkupi sekujur lagu ("Ujung perjalanan/ terkumpul banyak
cerita/ Sudah saat berbenah/ Sampaikanlah doa/ Kuatkan kaki kencang bertahan/
Titipkan semangat pada yang telah lelah/ Pemberhentian susah diramalkan/ jangan
sampai terlewat”) sembari ditimpa alunan akordeon yang menyayat itu, sebuah
ajakan pasif untuk menikmati momen dan memilih pertempuran dengan lebih bijaksana.
Fast forward 5
tahun kemudian, Silampukau berevolusi dari young
adult menjadi pria-pria yang berhasil melewati par pencapaian kesenian mereka
dalam taraf yang sangat signifikan. Dirilis tanpa gimmick pemasaran berlebihan,
“Dosa, Kota & Kenangan” menandai teritori baru yang berhasil dijamah
Silampukau dalam berkesenian. "Dosa, Kota & Kenangan" dipenuhi kelindan
berbagai instrumen tambahan yang tidak mendapat tempat dalam ‘folk’ sederhana yang
tercatat dalam “Sementara Ini” lengkap dengan tipu-tipu aransemen yang tricky
dan delicate. Sementara itu, departemen lirik menjadi lebih realistis karena
kenyataan hidup telah memberi begitu banyak tantangan dan pelajaran dalam proses
manifestasi “Tenang saja, kamu kan hebat/ Akan terlihat jalan yang terang”
maupun “Tangan lebar merentang/ siap wujudkan mimpi” dalam rangkaian kosakata
cerdas.
Because we can’t survive on lemper and teh hangat, can we?
Satu jawaban dari premis diatas muncul dalam nomor pembuka “Balada
Harian” yang mungkin saja merupakan sebuah toyor di kepala kepada para pemuda
optimis di “Sementara Ini”. Dalam lagu yang musiknya sedikit membangkitkan
ingatan atas “Misread” ini, kita dapat menyimak lantunan “Tik-tok jam. Dering
alarm/ Impian pudar perlahan. Diam-diam/ Tapi tahun kian kelabu/ Makna gugur
satu-satu dari pengetahuanku, pandanganku, pendengaranku, penilaianku/ Mentari tinggal
terik bara tanpa janji/ Kota tumbuh,kian asing, kian tak peduli”. Dihajar
kenyataan memang tidak pernah menyenangkan akan tetapi
diluar relevansinya, desis-desis “self-pity” pada “Balada Harian” membuatnya sedikit menyebalkan. Desis-desis
yang juga dipertahankan pada lagu penutup “Aku Duduk Menanti” yang terdengar
letih.
Terus terang, hanya dua lagu diatas yang merupakan hal yang
tidak ideal dari “Dosa, Kota & Kenangan”. Mungkin saja karena adanya aturan
tidak tertulis dari skena folke dimana harus ada satu-dua lagu yang merayakan
rasa letih, kehampaan dan rasa kasihan bagi diri sendiri tanpa ironi apapun.
Tetapi apapun itu, Silampukau terdengar jauh lebih menarik
ketika mereka membidik premis-premis sakit hati diatas dengan jenaka lengkap dengan bumbu ironi.
“Lagu Rantau (Sambat Omah)” masih berangkat
dari premis yang sama. Pemuda-pemuda yang menyanyikan “Hei” akhirnya memutuskan
untuk ‘menjadi hebat’ dimana “Tujuh tahun yang lalu, impian membawaku ke
Surabaya/ berharap jadi kaya” namun “Waktu memang jahanam/ kota kelewat kejam/
dan pekerjaan menyita harapan/ Hari-hari berulang, diriku kian hilang/ Himpitan
hutang. Tagihan awal bulan”. Yang membuatnya berbeda tentu saja percik-percik
keputusasaan dalam kalimat pamungkas “O, demi tuhan, atau demi setan/ sumpah
aku ingin rumah untuk pulang”.
Lagu lainnya, “Doa 1”, yang sudah menjadi lagu wajib
khalayak, menaikkan momentum kenyataan hidup diatas, baik bagi album ini atau lagu
“Cinta Melulu” yang sudah basi itu sambil menepis jauh-jauh tengik kecemburuan
kolektif yang terlalu norak dan literal a la “Lagu Gampang”. Dimulai dengan
intro piano sedih yang ternyata adalah tipuan untuk kemudian musiknya didorong sedemikian
sehingga menjadi sebuah orkes jalanan yang sangat menghibur lengkap dengan
perpindahan melodi yang menampilkan remah-remah hasil main mata dengan
lagu-lagu indie rock mancanegara. Pada lagu ini, Silampukau menyapa “Gusti” dengan keluhan-keluhan
jenaka khas musisi bercita-cita tinggi semacam “dulu kala semasa ‘ku remaja/ “nothing
else matters,” katanya Metallica/ Sabar, mama, tunggu aku masuk ke layar tivi/ aku
kesasar di jalur indie/ Terima sablon kaos dan kadang gantungan kunci/ , pernah
‘ku mencoba peruntungan/ dana pas-pasan pokoknya bikin rekaman/ Kuliah, Gusti,
kutelantarkan”. Lirik jenaka semacam itu dengan musik yang saling-silang antara
etos ‘jalanan’ dengan musik pop membuat sedikit cela yang timbul akibat kecemburuan
terhadap televisi dan Ahmad….. menjadi termaafkan. Tidak semua hal harus berjalan
sempurna, bukan?
Jika bumbu ironi belum cukup, maka Silampukau menambah bobot
eksplorasi yang lebih serius dan spiritual. Tuhan memang tidak perlu dibela
tetapi potongan syair dalam “Malam Jatuh di Surabaya” yang berbunyi “Maghrib mengambang
lirih dan terabaikan/ Tuhan kalah di riuh jalan/ (oleh) Orkes jahanam mesin dan
umpatan (Celaka akhir hari)” membangkitkan suatu sentimen yang aneh sekaligus
relevan lengkap dengan gesekan musical saw yang muncul malu-malu, mengharu biru
dan timbul tenggelam nyaris tanpa peringatan.
Dan semangat berkesenian Silampukau menjadi sahih-tepat guna
ketika mereka memotret situasi sekitar dengan cara yang prosais. Mulai dari kurangnya
hiburan murah di “Bianglala” (lengkap dengan keisengan lirik “Muda-mudi
bersembunyi di remang-remang/ Awas ya, itu tangan”) sampai kurangnya ruang
bermain sepakbola di “Bola Raya”. Dan kesahihan tersebut menemukan tempat yang seharusnya
pada “Sang Jurangan” dan “Si Pelanggan”.
“Sang Juragan”, sebuah narasi dua menit lebih dengan
aransemen yang terasa begitu padat lengkap dengan siul-siul, ketuk pintu dan
gesekan korek serta gitalele, adalah sebentuk penghormatan bagi para pemilik-pengelola
institusi yang telah begitu berjasa dalam membantu jiwa-jiwa yang lelah diteror
kenyataan dalam menjaga kewarasan: toko minuman keras, sambil dengan effortless menyediakan ruang-ruang bagi
aparat yang susah melihat orang senang dan mereka yang “terpinggirkan” yakni orang
susah yang juga berhak untuk senang dalam lagu ini.
Sementara itu “Si Pelanggan”, selain memotret situasi
sekitar (Dolly, tepatnya), menunjukkan Silampukau yang sedang bermain-main
dengan identitas musikalnya. Lagu ini ditulis oleh Kharis, namun dinyanyikan oleh Eki hanya sambil diiringi piano yang dimainkan Samuel Respati,
fakta remeh yang tidak kalah penting dengan
kepedulian yang sudah sepantasnya disematkan kepada Dolly karena “di temaram
jambon gang sempit itu/ aku mursal masuk, keluar, dan utuh sebagai lelaki/
suaka bagi hati yang terluka oleh cinta/ oleh seluruh nelangsa…hidup yang
celaka” lengkap dengan narasi bergaya observasi nan jenial serta rangkaian rima
yang belum pernah terpikir oleh siapapun (“Di dasar kerat-kerat bir/ yang
kutenggak dalam kafir/ di ujung ceracau malam yang lingsir/ di dengung hambar
aspal yang terus bergulir/ di lubang-lubang nyinyir ranjang matrimoni/ di
buah-buah kisut ladang matrimoni/ di celah-celah renggang sumpah matrimoni”). Kesimpulan
narasi lagu ini pada baris “pelacur dan mucikari ‘kan hidup abadi” mungkin bisa
dianggap sebagai kunci yang membuat “Si Pelanggan” menjadi calon kuat salah
satu lagu abadi yang pernah dihasilkan siapapun dari skena musik Indonesia.
Seolah tidak lupa akan pentingnya sekelumit intrik
percintaan, Silampukau menyisipkan “Puan Kelana”. Jika kalian pernah
mendengarkan “Moth” dari Sonic Youth yang dimulai dengan warm sound yang
dihasilkan ketika needle turntable
menggerus plat piringan hitam, kita akan mendapatkan hal yang sama di awal “Puan
Kelana” untuk kemudian ditimpali suara terompet (lebih tepat jika menggunakan french
horn, sebenarnya) untuk mengais suasana kota mode dalam rangka tujuan tematik
dan bukan tempelan (Eyes on YOU, Aurette!). Sedangkan untuk syair, “Puan Kelana”
mengambil pendekatan yang lebih riil dibandingkan “Cinta Itu” sehingga
membuatnya rentan terpeleset menjadi “another love song”. Akan tetapi lagu ini
tidak turun kelas karena berhasil menonjolkan permainan rima rumit, serumit hubungan
tarik menarik antara Juanda dan Charles de Gaulle, serta name-dropping a la
mode dalam kadar yang pas (“Rene Descartes, Moliere, dan Maupassant/ Kau penuhi
kepalaku yang kosong/ dan Perancis membuat kita sombong”) untuk mendukung kerumitan
tersebut. Mohon maaf karena saya harus menarik diri untuk menelanjangi lagu ini
lebih jauh untuk alasan kesehatan.
Pada dasarnya, “Dosa, Kota & Kenangan” berserta
tahun-tahun dan realita yang mengikutinya adalah upaya untuk merangkum semua peristiwa
dalam kaitannya dengan hidup, tumbuh dan berkembang. Dan atas hasil dari segala
upaya pemaknaan yang dirangkum dalam “Dosa, Kota & Kenangan”, agak kurang
ajar rasanya jika saya tidak mengangkat gelas teh hangat (atau arak beras) di
tangan untuk Silampukau.
PS: Please don’t get me started on “bau-bau ICEMA” in this
article.