Pendahuluan: Sekitar tahun 2011/2012 saya pernah menulis tentang album ini di blog lama sebelum platformnya ditutup dan saya tidak sempat memback-up tulisan tersebut. Akhirnya saya mencoba menulis lagi tentang album ini. Mungkin lebih baik, mungkin lebih buruk atau mungkin sama saja. Siapa yang tahu?
Dan mengutip sebuah wawancara antara Ugoran Prasad dengan Ardi Wilda:
“BJS itu kan dicuplik dari sebuah “keramaian.” Kalau dia bisamemproduksi sesuatu atau narasi yang baru dan menghadirkan “keramaian” lagi,itu jadi ideal. Aku ngerasa BJS belum terlalu mendorong orang untuk produksi,hanya konsumsi aja.”
Berhubung saya bukan seorang yang punya arah, bakat atau atribut apapun yang dibutuhkan untuk menjadi "seniman" dalam rangka memproduksi sesuatu yang baru, saya masih harus puas dengan menghadirkan intepretasi saya mengenai album ini. Mungkin baru, mungkin tidak, siapa peduli?
Sebagai seorang pria (!), ok, anak laki-laki yang sebentar
lagi menapaki usia 30, pertanyaan paling menyebalkan adalah: “Kapan kamu akan berkeluarga?”
sambil diiringi tatapan kasihan karena mungkin sang penanya merasa (ya, merasa,
bukan berpikir) bahwa tidak ada perempuan yang rela menghabiskan sisa hidupnya
bersama saya (sampai sekarang memang tidak ada). Pertanyaan saya didalam hati
kepada mereka tentu saja bahwa apakah mereka berpikir bahwa berkeluarga pada
saat kondisi dimana Pemerintah belum berhasil menjamin penghidupan yang layak
bagi rakyatnya adalah sesuatu yang dapat diterima?
“Rezeki kan sudah ada yang ngatur. Nanti rejeki istri dan
rejeki anak bakal dateng kok”.
Saya yang baru saja menemukan Sartre tentu saja berpikir
bahwa jawaban tersebut adalah amat lucu karena saya (terpaksa) setuju bahwa manusia dilahirkan tanpa
tujuan. Setelah manusia lahir, maka mereka akan berpikir dan menggunakan
kehendak bebasnya sesuai dengan kondisi yang sedang mereka hadapi. Urusan
kehendak bebas tersebut akan mudah (dan mungkin indah) ceritanya ketika seorang
anak lahir dari keluarga kelas menengah ke atas namun menjadi sulit ketika anak
tersebut lahir sebagai kelas bawah. Sebagai contoh: Anak-anak yang lahir dari
keluarga uber miskin dan terpaksa berakhir di jalanan, entah kemudian di
penjara atau di akhirat dalam kondisi yang secara sosial dianggap buruk.
Melihat kondisi semacam itu, membuat saya sungguh tidak percaya bahwa ada
rezeki yang sudah disiapkan untuk anak tersebut. Yang saya tangkap dari kondisi
semacam itu adalah contoh individu yang ikut-ikutan pemerintah yaitu gagal (baca:
belum berhasil) dalam memberikan hidup layak bagi keluarganya. Jangan pernah
coba menceramahi saya karena saya sudah pernah (dan masih) melihat (dan juga merasakan akibat dari) kegagalan
orang-orang yang sejak berkeluarga
sampai sekarang tidak kunjung berhasil dalam menjamin kehidupan yang
layak bagi anggota keluarganya (walaupun satu dari sejuta anak yang berasal
dari orang tua gagal tersebut mungkin saja berhasil “jadi orang”). Belum lagi
anggapan usang para penganut paham patriarkal akut yang belum bisa menerima
kesetaraan gender, tetapi itu cerita lain.
Jika dosa memang ada, maka, membawa kehidupan entah darimana
dengan tujuan hanya untuk menghindari tekanan orang lain (dianggap tidak laku,
dianggap tidak lurus, dianggap tidak benar, dianggap tidak-tidak lainnya) dan
membuat kehidupan tersebut menderita (dan bahkan berbuat dosa) adalah dosa yang
sangat berat. Anda saya persilakan untuk tidak setuju.
Berbicara mengenai kepala keluarga (bisa laki-laki, bisa
perempuan) kelas menengah ke atas, yaitu mereka yang memang sudah berhasil
lepas seluruhnya dari sokongan dana orang tua atau memang berhasil menanjak
tangga kelas sosial secara mandiri, tanggung jawab yang besar sebagai kepala
keluarga kadang juga membuat mereka mulai merasa perlu untuk bertingkah
menyebalkan. Standar ganda, check, ketakutan kehilangan pekerjaan karena
membela rekan kerja yang benar, check, berusaha keras untuk tidak menyusahkan pemilik modal dengan menyusahkan orang lain yang tentu saja memiliki aktiva jauh dibawah pemilik modal, check, orientasi yang semakin terarah terhadap
uang dan konsumerisme, check, menjadi gendut dan malas, check, menyuruh orang
yang berada dibawah kekuasaannya untuk melakukan hal-hal bodoh dan tidak
berguna, CHECK! (silakan tambah hasil observasi anda: mencari hiburan tidak
sehat lewat prostitusi? Bisa saja!) Mungkin satu-satunya orang yang berkeluarga
dan saya tahu masih mampu memegang teguh integritasnya hanya Wiji Thukul.
Silakan sanggah kalimat saya.
Hasil observasi asal-asalan saya diatas seakan-akan mendapat afirmasi dari
album Melancholic Bitch (“Melbi”) berjudul Balada Joni dan Susi (“BJS”). Secara
garis besar, album ini bercerita tentang “Joni dan Susi termakan utopia
kehidupan kota besar yang diumbar di televisi, lalu memadu kasih dan pergi ke
kota padahal Pemerintah belum mampu menyediakan kehidupan yang layak bagi
rakyat banyak termasuk Joni dan Susi sampai akhirnya Joni terpaksa mengutil dan
menjadi pesakitan dan ujung-ujungnya menjadi obyek jualan berita televisi”.
Paparan tersebut menurut saya adalah ilustrasi yang paling masuk akal dan jika
ada yang mampu menyusun kalimat yang lebih baik, silakan isi di kolom komentar.
Pada sebuah majalah anak muda sekitar tahun 2005, Denny
Sakrie pernah berpendapat bahwa (roughly quoted) “Band-band indie jaman
sekarang hanya berasa cool karena punya referensi bagus” dan Melbi dengan
sukses berhasil menghindar dari busuknya terminologi cool tersebut.
Mendengarkan album ini, sulit menampik bahwa ada saja bagian-bagian yang tidak
akan kehilangan tempat dalam album studio band-band rock prominen dalam budaya
pop barat namun yang membuat BJS terdengar tulus adalah cerita dan konsep kuat
dan tentu saja relevan dengan kondisi sosial baik pada saat album ini dirilis maupun
sampai sekarang.
Sebagaimana sebuah album konsep yang ditulis dengan
semestinya, maka BJS dibuka dengan intro suram yang mencerminkan dibukanya
kotak Pandora kesengsaraan dan mendeskripsikan pertemuan antara Joni dan Susi
di ruang kelas dimana Ugo sebagai narator menjelaskan mengenai mimpi utopis
perkotaan yang membuat siapapun yang melihatnya merasa ingin dan mungkin harus mencicipi dan
menghidupi kekotaan tersebut termasuk Joni dan Susi (“Kota-kota menjalar
liar”). Dari mana mereka mendapat visi kehidupan perkotaan tersebut? Tentu
dari dari “kotak gelas” yang mana
didalamnya “rumah-rumah terkurung”. Tentu saja ini maksudnya televisi.
Berbekal mimpi, Joni dan Susi langsung ber
“Bulan Madu”. Sebuah mimpi bulan madu tepatnya yang merupakan cara berkelas
untuk meludahi para anggota kelas menengah-atas yang tanpa ragu
menghambur-hamburkan uang untuk berbulan madu di tempat-tempat eksotis yang
tersebar di pojok-pojok luar negeri. Di tengah-tengah “Kapal yang sedang
bergoyang” dan Joni yang meminta Susi untuk “Jangan bergerak terlalu
kencang-jangan hilang keseimbangan” Joni dan Susi melakukan perjalanan
psikadelik penuh cinta dan nafsu keliling dunia sambil diiringi musik gelap
yang mungkin saja terinsipirasi “No Quarter”.
Kemudian tiba saatnya mereka mengucapkan janji setia. Bukan
janji setia biasa karena ditengah musik yang merupakan versi gelap dan luasnya
eksplorasi dari “Weird Fishes/Arpeggi”, selain
janji standar semacam “dalam suka atau duka, kaya atau papa, sampai kematian
memisahkan”, Joni juga meminta Susi untuk ”lukai aku, belah dadaku, makan
jantungku,renggut hatiku” dan ditutup dengan rayuan (atau mungkin janji)
pamungkas: “Jika aku Israel, Kau Palestina, Jika aku Amerika, Kau seluruh
dunia, jika aku miskin, kau Negara”. Pasangan kontras yang tidak dapat hidup
jika yang lain tiada.
Merasa cukup setelah berjanji dan berbulan madu, maka mereka
mulai menuju kota (baca: Distopia). Lirik dari lagu ini semata-mata
mendeskripsikan perjalanan bersama. Namun yang membuat lagu ini menjadi tidak
biasa adalah intro “Ob-la-di-Ob-la-da” dipadukan dengan nyanyian Ugo dan Silir (Joni
dan Susi) dengan melodi lagu pop khas Indonesia sampai akhirnya Joni dan Susi
mulai memasuki teritori kota (Distopia) pada menit kedua lagu ini yang ditandai
dengan irama disko tung-tung khas pantura sembari diimbuhi dengan permainan
keyboard sarat psikadelia yang mungkin saja pernah juga di-sampel oleh Justice
di album "†".
Tiba di kota, Joni dan Susi memaknai kedatangan mereka lagi-lagi
dengan bantuan televisi. Mars Penyembah Berhala adalah sarkasme. Melbi
menggambarkan sulitnya orang-orang untuk lepas dari cengkeraman mimpi yang
ditawarkan televisi (“oh seseorang cubit aku di pipi/ jika semua ini..hanya dan
hanya mimpi”) sebelum lagu ini memuncak dimana lick mengawang a la Interpol
ditimpa dengan pidato cuci otak yang meresahkan dan berupaya untuk menahan mata
pemirsa pada televisi sebagaimana diteriakkan oleh perwakilan entah dari Departemen
Penerangan buatan seorang diktator atau mungkin saja versi Indonesia dari Big Brother.
Meresahkan karena saya yang mendengarkan lagu ini merasa tidak
mampu untuk mencabut mata orang-orang lain yang terperangkap mimpi televisi.
Kebahagiaan kisah Joni dan Susi kini hampir usai. “Nasihat
yang Baik” memberdayakan pengaruh post-rock dan/atau shoegaze sebagai bungkus
atmosferik nan esensial. Dari bujukan Joni (“Tidurlah Susi”) kita bisa saja
membayangkan sepasang kekasih yang sedang berteduh di kolong jembatan atau
halte bus dimana sang suami yang sedang kebingungan besok akan makan apa,
tengah menenangkan istrinya.
Dan memang sudah semestinya bahwa kebingungan mengenai apa yang akan dimakan disambung dengan “Propaganda
Dinding” dan “Apel Adam”.
“Susi demam dan terbaring gemetar, Joni gusar dan tangannya
terkepal, miskin takkan membuatnya putus asa, lapar memaksanya merasa berdaya….dinding
berbisik: curilah roti”
Kenapa dinding? Kenapa bukan “setan”? Siapa yang membutuhkan
imajinasi tentang setan, jika kita sudah punya televisi (dinding)?
Siapapun segera tahu arah dari “Propaganda Dinding” tetapi
teror bisikan dinding itu belum seberapa dibandingkan dengan teror sesungguhnya:
“Supermarket tak pernah sepi, lihat deret yang selalu
tersusun rapi, waktu terkutuk kadaluarsa di bungkus roti, Supermarket dan
busung lapar adu lari” (Simak juga detak jam di intro). Sepanjang sejarah mendengarkan
album musik berbahasa Indonesia, sejujurnya saya belum pernah menemukan majas
ironi sehebat ini.
Apakah dinding berkonspirasi dengan minimarket untuk menjual mimpi dan membuat orang datang dan mencari keselamatan di supermarket? Silakan renungkan.
Sulit memisahkan propaganda dinding dengan sekuelnya , Apel
Adam, yang merupakan sebuah narasi yang dibungkus
keyboard kelam dan bingung serta secara berkelas memberikan sindiran halus terhadap
kapitalisme yang sudah tidak terkendali, mereka yang bermain tuhan dan tentu
saja sekali lagi: televisi.
“Kau tak bisa mencuri sepotong roti dan sebuah apel karena
pencurian merusak kesetimbangan harga, Supermarket memerangkapnya, sebuah apel
jatuh dari lubang di celananya. Pada orang-orang yang menghantamkan hukuman
tuhan di wajahnya: Joni berkata: Jangan libatkan polisi di lagu/cinta ini….
Sementara, televisi datang lebih cepat dari ambulan.”
Dan hampir lima tahun setelah album ini keluar, Supermarket (dan mini-supermarket) semakin
banyak dan siap memerangkap Joni-Joni baru. Entah sudah berapa orang pekerja
televisi yang mendapat makan dari Joni. Entah sudah berapa miliar pendapatan
iklan yang diperoleh stasiun-stasiun televisi berkat penjualan berita tentang Joni.
Granat sarkasme Melbi masih belum habis karena Akhirnya Joni
Masup TV. Melbi dengan cerdik meminjam dan memutakhirkan pola drum Martin
Hannett di Isolation sambil mengkritik Pemerintah yang gagal “membaca jejak
luka (Joni) yang tertulis di jalan” sembari memohon kepada Susi: “Susi
ajarkanlah kepada mereka, bagaimana caranya mengeja”. Pesannya sudah jelas:
Anda tidak bisa mengandalkan pemerintah ketika anda adalah anggota masyarakat kelas bawah
sebuah negara yang carut-marut.
BJS (seharusnya) ditutup dengan Menara. Menara adalah sebuah
narasi yang kembali mengingatkan Joni dan Susi akan satu sama lain sebagaimana
pada intro album ini. Di tengah-tengah derau gitar berbau Joy Division, Joni dan
Susi mengenang betapa pahit dan terkutuknya distopia yang sempat mereka
singgahi (“berdarah, luka ditanganku berdarah, luka di tanganmu, saling
menggenggam kita mengikat darah kita selamanya), serta merancang janji atau
rencana masa depan yang terdengar seperti ancaman balas dendam (“Kita akan
bepinak banyak banyak menjadi sekawanan Joni, sekawanan Susi, mari pergi, membuka
lahan kebun apel seperti tuhan”). Sindiran lagi kepada kasus apel di “Apel Adam”.
Dan anda harus paham kenapa ada kata-kata “tuhan” sebagai “pembuka kebun apel”.
Suka atau tidak suka, tuhan kita adalah para pemilik modal.
Satu-satunya hal yang membuat saya tidak nyaman adalah
“Noktah”. Diluar kalimat “pelarian telah berakhir” yang secara lirik mungkin
bercerita tentang kematian. Saya belum berhasil menemukan alasan tepat mengenai
keberadaan lagu ini di BJS. Apakah Melbi sedang berupaya membuat saya bingung?
Atau lagu ini dibuat untuk keperluan promosi, mengingat liriknya yang nyaris
tidak ada hubungannnya dengan Joni dan Susi. Saya tidak mengkritik musiknya
karena sebenarnya lagu ini cukup berhasil memadukan gamelan dengan sound-sound
alternative rock, melainkan saya hanya mempertanyakan urgensi terkait keberadaan lagu ini pada
album BJS. (Diluar tempelan outro “Namaku Joni…Namaku Susi” yang sebenarnya
sudah cukup dinarasikan di “Menara”).
All in all, Apalagi yang bisa saya harapkan dari album sehebat
ini selain afirmasi yang saya kemukakan pada alinea diatas? Mungkin ketika pertanyaan
“Kapan kamu berkeluarga” muncul entah dari siapapun, daripada saya jawab
“may….may be yes may be not”, saya akan segera lempar album ini tepat ke wajah
mereka sambil berkata “Dengerin ini dulu deh Jon, baru nyuruh-nyuruh gue
kawin”.
No comments:
Post a Comment