Saturday 15 August 2015

Polka Wars - Axis Mundi




Back in 2009, there was an article about Grizzly Bear which tried to reconceive interdependence in between American civilization and American pop artists: “Listening to Grizzly Bear summoned up a reflection about how an advanced -level civilization enabled its colony to create popular music at maximum subtlety, such as Grizzly Bear.”  / “And further question arose: How can our local group, Efek Rumah Kaca get rid of Radiohead’s The Bends influence within their sound? When will our local artists start to embrace complexity?” the writer exclaimed


6 years later, Axis Mundi could be an answer of that question.


It was Love Garage 2013, it was drowsy as the rain stopper was in action and it was “Coraline”. I stood in total awe of existence and I didn't pretend to know what it's all about but it felt good. Probably due to Polka Wars’ performance that didn’t try to upstage anything or anyone, or probably the stop and go parts in the song. But as the night grew thicker, the alcohol and Karen O diverted my attention of the band’s performance and the rest is just vague memory. Fortunately, Polka Wars are not one trick pony because three years later, the bunch decided to outshine the appeal of “Coraline” via outlandish territory with an album titled “Axis Mundi” as their conveyor. And Axis Mundi augmented the remnants of that vague memory.

Wrapped in Hipgnosis-esque quaint transcending artwork, a reminiscent of Led Zeppelin’s Presence, neatly sealed with slickly designed carton trapping, “Axis Mundi” seems a bit grandiose on the shell but, listening to the album, its songs deliver all the grandeur it promises as they sing “the more they train, the more they recognize this providence”. 

Axis Mundi is assiduously wickered around idea of universal grand scheme of things and/or evolution of filial piety, a plausible undercurrent to keep the “Mundi” relevant. Kickstarted with manifestation of the band’s charming wit by deciding to open the album with “Mokele” the single, whose riff on intro sounds like identical twin of “Coraline” but filled with more conviction to the brim, which possibly a quick visit to ominous state where everything ends (“As the white dreams go static by the winds/ While it wipes all the trees and cold/All the visions if a muddled memory/Fades beneath the blurry stills”) and the fittest is the only one will survive (“All the signs lead it in/It’s turning the tide into fiends/Often see you out there/Mokele-Mbembe”). On a heavier note, Alfonso could’ve been a sacrilegious poetry to Albuquerque from third person’s perspective, probably a member of his troop or the subjugated (“Forsake the hour of my death/I can’t even relent the sin and vanity that you…/The smell of empathy that you resent-as if you own the land/Oh, the calling of your time will be fair-But the dream won’t come today”) or probably not. Top Gear (Moth & Flies) is frolicking with idea of taking a saunter to the afterlife through suffering (“Racing through the floods of thumb tacks in the dark”), futile attempt of claiming one’s life back (“Knives run out, we’re one with the fight/with all twist and might/weightless kicks and grips”) while “This Providence” is about acceptance of one’s fate with splash of optimism. And if Fleet Foxes wrote “Blue Spotted Tail”, Polka Wars have their own “Horse’s Hooves”, a song that glorifies our astonishing yet not fully explored earth and universe, which we know nothing about, where tectonic plates may shift on a whim, a subservient nod to Carl Sagan that emphasizes our vapid insignificance. Another charm of their wit is documented in Tall stories,  so high a song as one can be, a contemplation during the hour of weedian (*Matt* Pike’s peak, anyone?) and a good trip, indeed, that entrances one to count his/her blessing because a life of one thing could go in flame, hence the “Thank God” adjuration. Axis Mundi is capped with “Piano Song” whose cumbersome spiritual weight and mortal fear may break the utterly tenuous link between one’s reason and soul then bring non-believer’s panache down to hollow squish. 

The appeal of Axis Mundi is not only emitted from its lyrical department but also from its musical concoction. Polka Wars managed to find the balance between guitar twang suffused mid tempo songs (Mokele, Top Gear (Moth & Flies) and Tall Stories) and Slow Tempo-reminiscent of Liars’ WIXIW era- full of bleak emptiness such as “Alfonso” and “Horse Hooves” without forfeiting each other. Glimpse of the record’s supremacy can also be whiffed through Polka Wars’ knack for retrofitting warring but compelling shifts of passage amidst their playground (01:44 & 02:45 on Mokele, 01:10 on Top Gear (Moth & Flies), 00:47 on Horse Hooves to highlight a few), the intricate riff of Tall Stories, the like of which probably been sought by Paul Banks or Daniel Kessler for quite long, the nine minutes transcendental excursion, “Piano Song” and Karaeng Adjie’s avid vocal, whose timbre resembled the “dry”, less soulful version of Tunde Adebimpe, that somewhat provided important sonic amenities for Polka Wars’ musical prowess. 

But especially ambitious is “Lovers”, a seductive prayer, where 2.0 version of Benny Soebardja embarked on an uphill battle in the far-east armored with nothing but compelling effects (flute?), strings and delicate tenor backing vocal in his sonic arsenal until the spiritual weight of which is at par with anything David Hersya ever wrote. A true masterpiece. 

Our civilization is yet to reach its advanced level but Axis Mundi did well to live up its own name. It’s genuinely complex, portraying a bunch of young titans with no idle purpose to put their talent for good use. It is somewhat charming yet, none of its content is easy to parse. Unlike other effete collective who pulled too much foamy philosophy and pseudo-artisan’s (read: marketing) gimmickry resulting in nothing but snoozefest, Polka Wars can be sure as in rest assured that Axis Mundi is currently ahead in the race for best album of 2015, in my book for the least.

Sunday 14 June 2015

Tumbuh Bersama Silampukau-Dosa, Kota & Kenangan



Dosa, Kota & Kenangan bagi saya adalah sebuah mastercraft yang setali tiga uang dengan perempuan cantik yang jika diajak ngobrol lumayan nyambung, punya empati serta gaya hidupnya agreeable sampai-sampai saya  mengalami kesulitan untuk membendung kebahagiaan setiap kali bertemu serta merasa perlu untuk menulis sesuatu tentangnya. Bibit unggul deh pokoknya. 

Anda tidak setuju? Saya tidak peduli.


Mendengarkan Album “Dosa, Kota & Kenangan” milik Silampukau, mau tidak mau saya tergoda untuk mengenang EP pertama Silampukau, “Sementara Ini”. “Sementara Ini”, sesuai judul albumnya, terdengar prematur. Mungkin karena optimisme khas millennial usia tanggung yang belum banyak tuntutan dan semangat bermain-main yang kental. Optimisme yang jelas tersimak pada “Hei” yang melukiskan debat antara anak muda dengan orang tua dimana bait untuk anak muda dinyanyikan oleh Kharis Junandharu dan bait orang tua dinyanyikan Eki Tresnowening untuk kemudian mengalir ke reffrain yang berbunyi: “Tenang saja, kamu kan hebat/ Akan terlihat jalan yang terang/ di mimpi yang tak kau beli”. Sedangkan optimisme dalam bentuknya yang lebih relevan dilantunkan dalam “Pagi” (“Tangan lebar merentang/ siap wujudkan mimpi/ Tegas kaki melangkah/ menyapa matahari/ Siapkanlah pagi dengan senyuman/ Lekaslah berlari sebelum siang”) dan membuatnya terdengar seperti “Menjadi Indonesia” yang memasuki level lain dalam dunia pop. Tidak ada yang salah dengan dua lagu tersebut namun ide-ide motivasional dengan bau-bau rags-to-riches dengan sekelumit bumbu rasa kasihan terhadap diri sendiri yang mendasari kedua lagu tersebut terasa “disagreeable” bagi saya (terkait alasan self-preservation, terutama), walaupun ide-ide tersebut tidaklah buruk.


Tentu saja masih ada hal ‘agreeable’ dalam “Sementara Ini”. Bersyukurlah untuk semangat bermain-main yang tercermin pada nomor “Cinta Itu”, sebuah versi ‘membumi’ (tsk!), tulus dan jenaka dari “Jatuh Cinta Itu Biasa Saja”, dimana pada saat Kharis dengan genit melayangkan syair: “Cinta itu buat kapan-kapan”, Eki menimpalinya dengan pertanyaan “kapan?” untuk kemudian mengeksekusinya dengan jawaban  pamungkas: “kala hidup tak banyak tuntutan”.

Kabar baik lainnya datang dalam lagu terakhir serta lagu ekstra yang didasarkan pada ide yang gaungnya lebih subtil. “Sampai Jumpa” sebagai lagu perpisahan berhasil membangkitkan memori akan pamitan a la Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks (“Semoga tak ada salah-salah kata/ semoga kami berkenan di hati anda”) sedangkan “Berbenah” menghadirkan suasana multi tafsir. Ada rasa pahit-manis perpisahan dengan teman minum-minum satu tongkrongan (“kawan jangan terpencar”) tetapi selimut tema kematian atau pendeknya hidup tidak kalah lekat melingkupi sekujur lagu ("Ujung perjalanan/ terkumpul banyak cerita/ Sudah saat berbenah/ Sampaikanlah doa/ Kuatkan kaki kencang bertahan/ Titipkan semangat pada yang telah lelah/ Pemberhentian susah diramalkan/ jangan sampai terlewat”) sembari ditimpa alunan akordeon yang menyayat itu, sebuah ajakan pasif untuk menikmati momen dan memilih pertempuran dengan lebih bijaksana.
 
Fast forward 5 tahun kemudian, Silampukau berevolusi dari young adult menjadi pria-pria yang berhasil melewati par pencapaian kesenian mereka dalam taraf yang sangat signifikan. Dirilis tanpa gimmick pemasaran berlebihan, “Dosa, Kota & Kenangan” menandai teritori baru yang berhasil dijamah Silampukau dalam berkesenian. "Dosa, Kota & Kenangan" dipenuhi kelindan berbagai instrumen tambahan yang tidak mendapat tempat dalam ‘folk’ sederhana yang tercatat dalam “Sementara Ini” lengkap dengan tipu-tipu aransemen yang tricky dan delicate. Sementara itu, departemen lirik menjadi lebih realistis karena kenyataan hidup telah memberi begitu banyak tantangan dan pelajaran dalam proses manifestasi “Tenang saja, kamu kan hebat/ Akan terlihat jalan yang terang” maupun “Tangan lebar merentang/ siap wujudkan mimpi” dalam rangkaian kosakata cerdas.
 
Because we can’t survive on lemper and teh hangat, can we?
 
Satu jawaban dari premis diatas muncul dalam nomor pembuka “Balada Harian” yang mungkin saja merupakan sebuah toyor di kepala kepada para pemuda optimis di “Sementara Ini”. Dalam lagu yang musiknya sedikit membangkitkan ingatan atas “Misread” ini, kita dapat menyimak lantunan “Tik-tok jam. Dering alarm/ Impian pudar perlahan. Diam-diam/ Tapi tahun kian kelabu/ Makna gugur satu-satu dari pengetahuanku, pandanganku, pendengaranku, penilaianku/ Mentari tinggal terik bara tanpa janji/ Kota tumbuh,kian asing, kian tak peduli”. Dihajar kenyataan memang tidak pernah menyenangkan akan tetapi diluar relevansinya, desis-desis “self-pity” pada “Balada Harian” membuatnya sedikit menyebalkan. Desis-desis yang juga dipertahankan pada lagu penutup “Aku Duduk Menanti” yang terdengar letih.
 
Terus terang, hanya dua lagu diatas yang merupakan hal yang tidak ideal dari “Dosa, Kota & Kenangan”. Mungkin saja karena adanya aturan tidak tertulis dari skena folke dimana harus ada satu-dua lagu yang merayakan rasa letih, kehampaan dan rasa kasihan bagi diri sendiri tanpa ironi apapun. 


Tetapi apapun itu, Silampukau terdengar jauh lebih menarik ketika mereka membidik premis-premis sakit hati diatas dengan jenaka lengkap dengan bumbu ironi.


 “Lagu Rantau (Sambat Omah)” masih berangkat dari premis yang sama. Pemuda-pemuda yang menyanyikan “Hei” akhirnya memutuskan untuk ‘menjadi hebat’ dimana “Tujuh tahun yang lalu, impian membawaku ke Surabaya/ berharap jadi kaya” namun “Waktu memang jahanam/ kota kelewat kejam/ dan pekerjaan menyita harapan/ Hari-hari berulang, diriku kian hilang/ Himpitan hutang. Tagihan awal bulan”. Yang membuatnya berbeda tentu saja percik-percik keputusasaan dalam kalimat pamungkas “O, demi tuhan, atau demi setan/ sumpah aku ingin rumah untuk pulang”. 

Lagu lainnya, “Doa 1”, yang sudah menjadi lagu wajib khalayak, menaikkan momentum kenyataan hidup diatas, baik bagi album ini atau lagu “Cinta Melulu” yang sudah basi itu sambil menepis jauh-jauh tengik kecemburuan kolektif yang terlalu norak dan literal a la “Lagu Gampang”. Dimulai dengan intro piano sedih yang ternyata adalah tipuan untuk kemudian musiknya didorong sedemikian sehingga menjadi sebuah orkes jalanan yang sangat menghibur lengkap dengan perpindahan melodi yang menampilkan remah-remah hasil main mata dengan lagu-lagu indie rock mancanegara. Pada lagu ini,  Silampukau menyapa “Gusti” dengan keluhan-keluhan jenaka khas musisi bercita-cita tinggi semacam “dulu kala semasa ‘ku remaja/ “nothing else matters,” katanya Metallica/ Sabar, mama, tunggu aku masuk ke layar tivi/ aku kesasar di jalur indie/ Terima sablon kaos dan kadang gantungan kunci/ , pernah ‘ku mencoba peruntungan/ dana pas-pasan pokoknya bikin rekaman/ Kuliah, Gusti, kutelantarkan”. Lirik jenaka semacam itu dengan musik yang saling-silang antara etos ‘jalanan’ dengan musik pop membuat sedikit cela yang timbul akibat kecemburuan terhadap televisi dan Ahmad….. menjadi termaafkan. Tidak semua hal harus berjalan sempurna, bukan?

Jika bumbu ironi belum cukup, maka Silampukau menambah bobot eksplorasi yang lebih serius dan spiritual. Tuhan memang tidak perlu dibela tetapi potongan syair dalam “Malam Jatuh di Surabaya” yang berbunyi “Maghrib mengambang lirih dan terabaikan/ Tuhan kalah di riuh jalan/ (oleh) Orkes jahanam mesin dan umpatan (Celaka akhir hari)” membangkitkan suatu sentimen yang aneh sekaligus relevan lengkap dengan gesekan musical saw yang muncul malu-malu, mengharu biru dan timbul tenggelam nyaris tanpa peringatan.


Dan semangat berkesenian Silampukau menjadi sahih-tepat guna ketika mereka memotret situasi sekitar dengan cara yang prosais. Mulai dari kurangnya hiburan murah di “Bianglala” (lengkap dengan keisengan lirik “Muda-mudi bersembunyi di remang-remang/ Awas ya, itu tangan”) sampai kurangnya ruang bermain sepakbola di “Bola Raya”. Dan kesahihan tersebut menemukan tempat yang seharusnya pada “Sang Jurangan” dan “Si Pelanggan”. 


“Sang Juragan”, sebuah narasi dua menit lebih dengan aransemen yang terasa begitu padat lengkap dengan siul-siul, ketuk pintu dan gesekan korek serta gitalele, adalah sebentuk penghormatan bagi para pemilik-pengelola institusi yang telah begitu berjasa dalam membantu jiwa-jiwa yang lelah diteror kenyataan dalam menjaga kewarasan: toko minuman keras, sambil dengan effortless menyediakan ruang-ruang bagi aparat yang susah melihat orang senang dan mereka yang “terpinggirkan” yakni orang susah yang juga berhak untuk senang dalam lagu ini. 


Sementara itu “Si Pelanggan”, selain memotret situasi sekitar (Dolly, tepatnya), menunjukkan Silampukau yang sedang bermain-main dengan identitas musikalnya. Lagu ini ditulis oleh Kharis, namun dinyanyikan oleh Eki hanya sambil diiringi piano yang dimainkan Samuel Respati, fakta remeh yang  tidak kalah penting dengan kepedulian yang sudah sepantasnya disematkan kepada Dolly karena “di temaram jambon gang sempit itu/ aku mursal masuk, keluar, dan utuh sebagai lelaki/ suaka bagi hati yang terluka oleh cinta/ oleh seluruh nelangsa…hidup yang celaka” lengkap dengan narasi bergaya observasi nan jenial serta rangkaian rima yang belum pernah terpikir oleh siapapun (“Di dasar kerat-kerat bir/ yang kutenggak dalam kafir/ di ujung ceracau malam yang lingsir/ di dengung hambar aspal yang terus bergulir/ di lubang-lubang nyinyir ranjang matrimoni/ di buah-buah kisut ladang matrimoni/ di celah-celah renggang sumpah matrimoni”). Kesimpulan narasi lagu ini pada baris “pelacur dan mucikari ‘kan hidup abadi” mungkin bisa dianggap sebagai kunci yang membuat “Si Pelanggan” menjadi calon kuat salah satu lagu abadi yang pernah dihasilkan siapapun dari skena musik Indonesia.
 
Seolah tidak lupa akan pentingnya sekelumit intrik percintaan, Silampukau menyisipkan “Puan Kelana”. Jika kalian pernah mendengarkan “Moth” dari Sonic Youth yang dimulai dengan warm sound yang dihasilkan  ketika needle turntable menggerus plat piringan hitam, kita akan mendapatkan hal yang sama di awal “Puan Kelana” untuk kemudian ditimpali suara terompet (lebih tepat jika menggunakan french horn, sebenarnya) untuk mengais suasana kota mode dalam rangka tujuan tematik dan bukan tempelan (Eyes on YOU, Aurette!). Sedangkan untuk syair, “Puan Kelana” mengambil pendekatan yang lebih riil dibandingkan “Cinta Itu” sehingga membuatnya rentan terpeleset menjadi “another love song”. Akan tetapi lagu ini tidak turun kelas karena berhasil menonjolkan permainan rima rumit, serumit hubungan tarik menarik antara Juanda dan Charles de Gaulle, serta name-dropping a la mode dalam kadar yang pas (“Rene Descartes, Moliere, dan Maupassant/ Kau penuhi kepalaku yang kosong/ dan Perancis membuat kita sombong”) untuk mendukung kerumitan tersebut. Mohon maaf karena saya harus menarik diri untuk menelanjangi lagu ini lebih jauh untuk alasan kesehatan.


Pada dasarnya, “Dosa, Kota & Kenangan” berserta tahun-tahun dan realita yang mengikutinya adalah upaya untuk merangkum semua peristiwa dalam kaitannya dengan hidup, tumbuh dan berkembang. Dan atas hasil dari segala upaya pemaknaan yang dirangkum dalam “Dosa, Kota & Kenangan”, agak kurang ajar rasanya jika saya tidak mengangkat gelas teh hangat (atau arak beras) di tangan untuk Silampukau. 

PS: Please don’t get me started on “bau-bau ICEMA” in this article.